PEPATAH JAWA CUPLIKAN PUPUH PANGKUR DAN KINANTI
Orang Jawa dahulu kala adalah sebuah bangsa yang besar, dicirikan dengan adanya tulisan jawa yaitu sebuah karya sastra yang menyumbangkan sejarah besar bagi kehidupan di dunia, khususnya Suku Jawa itu sendiri. Mereka mampu menuangkan ide-ide dalam sebuah aksara atau tulisan yang dikenal dengan nama AKSARA JAWA. Tidak hanya itu, mereka juga kaya akan ide-ide berfalsafah yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Banyak dari ide-ide itu dituangkan dalam sebuah tembang atau pupuh sehingga tetap dikenal sampai sekarang.
Syair dari pupuh mengandung makna yang sangat besar dan bermanfaat bagi kehidupan manusia di bumi ini. Tidak sedikit dari syair-syair itu mengandung nasehat yang kini banyak digunakan oleh masyarakat jawa sebagai pedoman dalam berperilaku dan bersosial, mereka menganggapnya sebagai sebuah pepatah atau kata-kata bijak yang dituturkan oleh seorang yang arif pada jaman nenek moyangnya. Memang setiap kata-kata bijak atau pepatah jawa mencerminkan jiwa seorang penuturnya, kata-katanya begitu bijaksana dalam mensikapi segala sesuatu. Hal ini sesuai dengan kefeodalan seorang pemimpin jawa yang begitu diagung-agungkan pada jamannya.
Berikut ini beberapa cuplikan pepatah jawa yang tertuang dalam pupuh pangkur dan pupuh kinanti. Mengandung makna sangat berarti dan mencerminkan tuturan atau nasehat dari seseorang berjiwa besar :
KATA MUTIARA JAWA - BEBERAPA CUPLIKAN DALAM PUPUH PANGKUR
Kados sampun kinodrat, bilih punika ageming ngaurip, punapa ta wonten tuhu, tiyang sepi pamrihnya, senadyan penjenenganing ratu, lan ugi brahmana pisan, tan wonten sepi pamrihnya.
(Seperti sudah ditakdirkan, bahwa pedoman hidup itu, apakah betul-betul ada, orang tidak punya pamrih, walaupun beliaunya raja, dan juga sekalipun brahmana, tidak ada yang tidak punya pamrih)
Nadyan nggenya kalepatan, pamrih wau mung halus kebuntel daging, tindaking weweka iku, saya lampah kang awrat, umpamine dadosa ngulama guru, kebatinan sesaminya, yekti tan uwal sing pamrih.
(Walaupun tempatnya salah, pamrih itu harus halus yang terbungkus daging, jalannya perencanaan itu, melaksanakannya lebih berat, misalnya menjadi guru ulama, sesamanya kebatinan, pasti tidak akan lepas dari pamrih)
Mengsah pamrih tandhing aprang, sarana tan kendhat anggenya teteki, neger kersaning Hyang Agung, kabeh sesampunira, panjenengane katleyek myang kabentus, ing tawang kesandhung rata, eling yang mung titah yekti.
(Musuh bertujuan perang tanding, dengan selalu tidak pernah lepas bertapa, mempertanyakan keinginan Hyang Agung, semua setelah itu, beliau tersangkut dan terbentur, di langit tersandung tanah datar, ingat bila hanya seorang hamba Allah)
Mengandung makna bahwa setiap manusia hidup itu pasti memiliki pamrih, siapa saja tanpa kecuali, baik itu seorang pemimpin (seorang raja) ataupun seorang ulama sekalipun semuanya pasti memiliki pamrih dalam setiap melakukan suatu hal, karena pamrih itu merupakan kodrat manusia dan sudah ditakdirkan oleh Sang Pencipta. Namun, sekalipun itu tidak baik ketika melakukan sesuatu hal penuh dengan pamrih tetap harus dilakukan dengan rapi. Orang-orang jawa menganggap bahwa orang dengan penuh pamrih itu manusiawi.
KATA MUTIARA JAWA - BEBERAPA CUPLIKAN DALAM PUPUH KINANTI
Sapa temen dha tinemu, tinemonan ing pamburi, jer basuki mawa beya, beya budi luhur yekti, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.
(Siapa bersungguh-sungguh akan mendapatkan, mendapatkannya pada akhir, bila ingin sejahtera harus berusaha, usaha berbudi luhur, semua kejahatan akan terkalahkan, oleh kebijaksanaan dengan penuh maaf)
Kang temen pangudinipun, mring bebener laras adil, lan timbang ingkang sanyata, iku oncekane sayekti, yen winastan Kyia Ageng Sela, wasis nyekel bledeg thathit.
(Yang sungguh berupaya, pada kebenaran yang seimbang dan adil, yaitu pertimbangan nyata, itulah arti sesungguhnya, seperti yang disebut Kyai Ageng Sela, dapat dengan mudah memegang petir)
Sanungging ing karonipun, lawang bledheg kori masjid, Masjid Demak amrapat, karepe kang yoso kori, kita dimen dha elinga, yaiku ingkang sesanti.
(tergambar di jendelanya, pintu petir jendela masjid, Masjid Demak rengat, keinginan yang membuat jendela, agar kita selalu ingat, yaitu yang berpetuah)
Tetela kang pamrih iku, lumrah tumraping dumadi, nangging ta sabisa-bisa, kudu laras ing pribadi, dadi kuat lan sentosa, marang wewengkon sayekti.
(Ternyata yang punya tujuan itu, biasa terhadap sikap makhluk, tetapi juga sedapat mungkin, harus selaras dengan pribadi, menjadi kuat dan sentosa, kepada wilayahnya sendiri)
Ajeg sisiram kang trubus, kanthi tirta marta warih, ya toyaning kalbu ingkang, wus menga tumiyung yekti, saiyeg marang mring gegeyongan, myang kayun kayungyun yekti.
(Tetap disiram benih itu, dengan air kehidupan, ya airnya dari kalbu, telah terbuka serta terwujud, bersikap bersatu pada cita-cita, yang sangat diharapkan)
Tetap marsudi kang tulus, mardawaning budaya hadi, anglelatih buditama, mrih rahayu sayekti, lire iku sanyatanya, manggon ing kalbu sejati.
(Tetap berusaha dengan tulus, selama budaya bagus, melatih budi yang utama, agar selalu selamat, ibarat yang sesungguhnya, di dalam kalbu sejati)
Mengandung makna bahwa setiap melakukan sesuatu hal harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh agar apa yang dicita-citakan dapat segera terwujudkan dengan baik. Dengan niat yang sungguh-sungguh hal yang mustahil (di luar kemampuan) pun bisa tercapai, Namun harus juga diimbangi dengan kerja keras, karena pada hakekatnya segala hal yang bersifat baik itu pasti akan mengalahkan keburukan. Maksudnya segala sesuatu yang kita lakukan harus diniati untuk kebaikan dan dalam melaksanakannya harus dengan tekad dan kemauan yang kuat. Dengan demikian entah itu lambat ataupun cepat pasti akan segera tercapai apa yang dicita-citakan.
Demikianlah beberapa nasehat orang jawa yang tertuang dalam sebuah tembang atau pupuh jawa. Mengungkap perilaku manusia secara realistis yang tersirat dalam pupuh pangkur, dan memberi petuah yang sangat bijaksana dalam melakukan suatu hal yang kita cita-citakan yaitu dengan niat dan tekad yang kuat yang tersirat dalam pupuh kinanti. Syair yang disampaikan pada kedua pupuh tersebut mencerminkan kehidupan manusia secara nyata.
Lihat lainnya:
:
Kata Mutiara Jawa
:
PEPATAH JAWA